Derajat ihsan dalam beribadah -yang itu merupakan tingkatan Islam yang tertinggi- akan bisa dicapai apabila seorang hamba senantiasa menyadari keagungan nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, ketika ditanya tentang ihsan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Apabila kamu tidak bisa -beribadah seolah-olah- melihat-Nya maka sesungguhnya Dia senantiasa melihatmu.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [1])
Dikisahkan bahwa pada suatu malam ada seorang lelaki yang merayu seorang perempuan di tengah padang pasir akan tetapi perempuan itu enggan memenuhi ajakannya. Maka lelaki itu berkata, “Tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang.” Perempuan itu pun berkata, “Kalau begitu, dimanakah yang menciptakan bintang-bintang itu?!” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 33)
Imam al-Auza’i rahimahullah menceritakan: Pada suatu ketika masyarakat keluar rumah bersama-sama dalam rangka melakukan istisqo’ (berdoa meminta hujan). Diantara mereka ada salah seorang hamba yang salih yaitu Bilal bin Sa’ad. Dia pun bertanya kepada orang-orang, “Wahai umat manusia!! Bukankah kalian mengaku pernah melakukan keburukan/maksiat dan kalian pun mengakui dosa-dosa kalian?!!” Semua orang yang hadir pun menjawab, “Iya!!!”. Setelah itu, dia pun mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, “Ya Alllah, sesungguhnya Engkau telah berfirman (yang artinya), “Tidak ada jalan/alasan untuk mengganggu orang-orang yang berbuat ihsan/kebaikan.” (QS. at-Taubah: 91). Sementara kami semua di sini mengakui bahwa kami bergelimang dengan keburukan/dosa!! Oleh sebab itu ampunilah kami dan curahkanlah hujan kepada kami!!”. Setelah itu Allah menurunkan hujan kepada mereka, lalu mereka pun bubar dalam keadaan diguyur hujan (lihat Mawa’izh al-Akhirah fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hal. 9)
Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya rasa cinta kepada sesuatu adalah cabang pengenalan terhadapnya. Maka manusia yang paling mengenal Allah adalah yang paling cinta kepada-Nya. Setiap orang yang mengenal Allah pastilah mencintai-Nya. Dan tidak ada jalan untuk menggapai ma’rifat ini kecuali melalui pintu ilmu mengenai nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan kokoh ma’rifat seorang hamba terhadap Allah kecuali dengan berupaya mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah…” (lihat Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 16)
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahumallah berkata, “Apabila seorang hamba telah mengetahui bahwa Rabbnya (Allah) memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan kemuliaan seperti ini, dan dia pun meyakini bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi daripada Allah Yang Maha Suci. Tidak ada yang tidak mampu dilakukan oleh-Nya. Dan bahwasanya Allah adalah sandaran dan tempat memulangkan urusan seluruh makhluk. Tidak ada tempat kembali dan menyelamatkan diri dari siksa-Nya kecuali kepada-Nya. Kepada-Nya lah tempat untuk melarikan diri. Dia lah yang menjadi tumpuan segala makhluk untuk memenuhi berbagai kebutuhan, permintaan, dan harapan mereka. Apabila dia telah menyadari itu semua, maka wajib atasnya untuk tidak memulangkan permasalahan kecuali kepada-Nya. Tidak memohon kebutuhan kecuali dari-Nya. Tidak memalingkan ibadah kecuali kepada-Nya. Tidak memohon pertolongan kecuali kepada-Nya. Dan tidak akan bertawakal kecuali hanya kepada-Nya.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 136)